Misteri
Dibalik Hafalan Shalat Delisa
Judul
buku :
Hafalan Shalat Delisa
Pengarang :
Tere Liye
Penerbit :
Republika Penerbit
Tahun
terbit : 2005
Jumlah
Halaman : 270
Ukuran
buku : 20,5 x 13,5 cm
Nomor
ISBN : 978979321060-5
Tere Liye salah seorang penulis
berbahasa Indonesia. Lahir pada tanggal 23 Mei 1979 dan sudah menulis 14 novel.
Seperti Kisah Sang Penandai, Ayahku (Bukan) Pembohong, ELIANA (Serial Anak2
Mamak), Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin, PUKAT (Serial Anak2 Mamak), BURLIAN
(Serial Anak Mamak), Hafalan Shalat Delisa, Moga Bunda Disayang Allah,
Bidadari-bidadari Surga, Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Senja Bersama Rosie,
Mimpi-mimpi si Patah Hati, Cintaku Antara Jakarta & Kuala Lumpur, The
Gogons Series 1. Tere-liye ingin menyebarkan pemahaman bahwa “Hidup ini
Sederhana” melalui tulisannya.
Novel
Hafalan Shalat Delisa ini ditulis oleh Darwis atau lebih dikenal Tere Liye
(dari bahasa India; artinya ‘untukmu’).
Novel sederhana ini bercerita tentang dunia kanak-kanak dengan pilihan kalimat
simpel yang ceritanya jauh dari glamour novel percintaan yang sedang laris
manis di toko buku saat ini (bahkan difilmkan dan sebagainya) ternyata menarik
banyak pembaca. Sejauh ini sudah cetakan ke-12. Sungguh mungkin karena Allah
sayang dengan ‘Delisa’, sehingga dengan keterbatasannya novel ini bisa dikenal
luas.
Novel
ini menceritakan Delisa seorang gadis berumur 6 tahun yang tinggal di Lhok-Nga
Aceh bersama Ummi Salamah, Kak Alisa Fatimah, Kak Alisa Zahra dan Kak Alisa Aisyah.
Sedangkan Abi Usman jarang berada dirumah karena sedang merantau di tanker
perusahaan minyak internasional. Dia pulang tiga bulan sekali. Alisa Fatimah
berumur 16 tahun yang rajin dan penurut. Alisa Aisyah dan Alisa Zahra adalah
anak kembar yang berumur 12 tahun. Meskipun kembar, mereka berbeda bagai bumi
dan langit. Aisyah orangnya jahil sedangkan Zahra orangnya kalem bin pendiam.
Alisa Delisa baru berumur 6 tahun. Dia itu anak yang aktif, bandel, penurut,
pemerhati.
Keluarga
kecil tersebut hidup dengan sangat bahagia
dan harmonis. Setiap pagi, Ummi Salamah selalu membangunkan malaikat kecilnya
untuk shalat subuh berjamaah. Kak Zahra dan Kak Fatimah yang biasanya
membangunkan Delisa untuk shalat, karena Delisa sangat sulit bangun pagi.
Setiap
shalat berjamaah, Ummi Salamah selalu menjadi imam dan Kak Aisyah selalu mendapatkan
tugas untuk membaca bacaan shalat dengan keras agar Delisa dapat mengikuti
bacaan shalat tersebut. Pagi hari setelah matahari terbit dengan cantiknya di
Lhok-Ngah, Aceh, Ummi Salamah berjanji
memberikan kalung apabila Delisa berhasil menghafal bacaan shalat dengan khusyu
seperti yang dilakukan Ummi ke kakak-kakak Delisa dahulu. Kalung yang sungguh
tanpa disadari Delisa, akan membawanya ke semua lingkaran mengaharukan cerita
ini. Di satu sisi, Abi Usman juga menjanjikan sepeda untuk Delisa.
Delisa mendapat tugas menghafal
bacaan shalat dari Bu Guru Nur. Selain bersekolah di Ibtidaiyah Negeri 1 Lhok
Nga, kegiatan lain yang dilakukan Delisa adalah belajar mengaji dengan Ustadz
Rahman. Ustadz yang mengajarinya tentang makna kehidupan. Delisa setiap hari
menghafalkan bacaan shalatnya tetapi dia kesulitan menghafalnya. Ia pun sering
curhat dengan kakaknya, Aisyah. Padahal mereka berdua sering sekali berantem. Aisyah
pun mempunyai ide untuk membuatkan ‘jembatan keledai’ untuk adiknya agar tidak
kesulitan menghafalnya lagi. Seiring berjalannya waktu akhirnya Delisa dapat
menghafal bacaan shalat itu.
Tiba Hari H yaitu pada hari Ahad tanggal
26 Desember 2004 Delisa akan menyetor bacaan hafalan shalatnya kepada Bu Guru
Nur. Hari itu Delisa ditemani Umminya. Praktik
shalat anak-anak itu sengaja di pindah ke hari Ahad biar keluarga mereka ikut
mengantar. Tiba giliran Delisa untuk maju praktik shalat. Gerakan demi gerakan
dia lakukan dengan baik. Bacaannya pun juga baik. Saat tiba pada bacaan “Innashalati,
wanusuki, wa-mah-ya-ya, wa-ma-ti…”
gempa
menjalar dengan kekuatan dahsyat. Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas
meja Bu Guru Nur jatuh. Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores
lengan Delisa. Menembus bajunya dan membuat lengannya berdarah. Delisa tetap
melanjutkan shalatnya karena dia ingat kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan
tetap tak bergerak saat shalat ketika punggungnya digigit kalajengking. Delisa
ingin untuk pertama kalinya ia shalat dan bisa membaca shalat dengan sempurna,
Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin seperti itu, khusyuk.
Kemudian
Delisa bergetar melanjutkan bacaanya. Saat tiba pada bacaan “Rabba
na lakal hamdu” Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang
tsunami sempurna sudah membungkusnya. Delisa megap-megap. Bu Guru Nur yang saat
itu bersama Delisa, berusaha menolong Delisa. Bu Guru Nur menarik
kencang-kencang Delisa dan meletakkan Delisa di atas papan. Papan itu mulai
tenggelam. Bu Guru Nur tidak sempat berpikir panjang. Ibu Guru Nur melepas
kerudungnya yang robek dan mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan
seerat yang ia bias lakukan. Tubuh Delisa terus terseret jauh gelombang
tsunami.
Setelah bencana tersebut berhasil menyapu
seluruh kota Lhok-Ngah, banyak warga yang hilang termasuk seluruh keluarga Delisa.
Kak Fatimah, Kak Zahra & Kak Aisyah pun ikut tewas dalam bencana tersebut.
Sedangkan Delisa hilang tersapu oleh derasnya ombak tsunami yang datang.
Setelah
satu minggu Delisa dikabarkan hilang, tim SAR yang membantu mengevakuasi kota
Lhok-Ngah yang bernama Prajurit Smith menemukan Delisa dengan keadaan yang
sangat mengenaskan tetapi begitu menakjubkan, tubuh yang bercahaya, lebih indah
dari tujuh pelangi dijadikan satu. Delisa dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy
untuk diperiksa. Tak lama Delisa diperiksa oleh Dokter Eliza, Suster Shopi.
Satu minggu kemudian Delisa pun sadar dan mengetahui bahwa betis kaki kanannya diamputasi,
siku tangan kanannya di gips. Tak hanya itu, Delisa gundul total, luka-luka
kecil di kepalanya dijahit. Muka lebamnya di balsam tebal-tebal. Lebih dari dua
puluh jahitan di sekujur tubuhnya.
Abi
Usman yang mengetahui bencana yang terjadi di Aceh, langsung buru-buru pulang
untuk mencari keluarga kecilnya tersebut. Setelah lalu lalang mencari
keluarganya, sang tetangga pun memberitahu bahwa kak Fatimah, kak Zahra &
kak Aisyah sudah tewas dalam bencana. Abi Usman menangis terisak mendengar
kabar buruk itu. Sang tetangga juga memberi tahu bahwa Ummi Salamah dan Delisa
hilang ketika tsunami terjadi hari minggu pagi tersebut. Abi Usman masih
mempunyai semangat untuk mencari Ummi dan Delisa yang mungkin saja masih hidup
pada saat itu.
Beberapa
hari Abi Usman mencari Delisa, akhirnya Abi Usman berhasil menemukan Delisa
setelah mencari informasi di tenda marinir Kapal Induk kota Lhok Nga. Tanpa
pikir panjang, Abi Usman langsung menghampiri Prajurit Smith agar mau
mengantarnya ke Kapal Induk itu. Akhirnya Abi Usman diantar dengan helikopter
Super Puma. Abi Usman bertemu Delisa dan sangat bersyukur Delisa selamat dari
kejadian itu.
Pertemuan
itu diawali dengan pelukan. Berguguran sejuta pertanyaan itu. Baik pertanyaan
tentang keadaan Ummi, ketiga kakaknya, dan orang-orang sekitar Delisa. Abi
Usman menjelaskan bahwa Kak Fatimah, Kak Aisyah, Kak Zahra, Ibu Guru Nur, Tiur
(sahabatnya), Ummi Tiur sudah meninggal dunia. Sedangkan Ummi, Abi hanya
berkata tidak tahu kepada Delisa.
Enam
minggu sesudah gelombang tsunami, Delisa diijinkan pulang. Pagi itu, ia
digandeng Abi berjalan patah-patah menuju helikopter Super Puma. Pulang ke
rumah. Delisa kemudian melihat rumahnya yang sudah hancur. Kemudian berkeliling
di sekitar rumahnya. Untuk sementara waktu, Abi, Delisa, dan warga yang masih
selamat tinggal di tenda-tenda yang dibangun marinir. Semua keperluan telah
disediakan oleh marinir itu. Hari demi hari, Abi mulai membangun rumah. Warga
sekitar pun juga begitu. Lhok Nga sudah hidup kembali.
Beberapa
bulan setelah tsunami di Aceh. Sore itu, Kak Ubai (relawan yang di Lhok Nga)
mengajak Delisa dan anak-anak lainnya ke salah satu bukit yang banyak terdapat
di Lhok Nga, 6 km dari sekolah Delisa menggunkan mobil. Di salah satu lapangan
yang terdapat di lereng bukit tersebut, mereka membuat lingkaran besar. Di
sanalah tempat mengaji TPA mereka hari itu. Di sana mereka tidak hanya mengaji,
tetapi juga menggurat kaligrafi di atas pasir, dan shalat berjamaah. Saat
mereka akan pulang, Delisa ingin mencuci kedua tangannya yang kotor oleh pasir
ke sungai kecil di dekat lapangan tersebut. Kak Ubai membiarkan saja, meskipun
anak-anak lainnya cukup mengibas-ngibaskan tangannya. Dari kejauhan, Delisa
melihat kemilauan kuning. Delisa kemudian mendekat ke kemilauan itu. Tak
disadari Delisa menemukan mayat Ummi Salamah di seberang sungai. Mayat Ummi
Salamah bersandarkan semak belukar yang telah menjadi kerangka dan menggenggam kalung
yang Delisa inginkan.
Saat
itu, Delisa tersadar bahwa keikhlasanlah yang mampu membuat Delisa mampu
menghafal bacaan shalat. Bukan untuk kalung tersebut namun untuk mendoakan Ummi
Salamah, kak Fatimah, kak Zahra, dan kak Aisyah di surga.
Kelebihan
dari novel ini adalah ceritanya kuat, sederhana, mudah diterima, mudah dipahami
karena bahasanya yang tidak berbelit-belit. Novel ini sangat bagus untuk dibaca
semua kalangan. Baik anak-anak maupun remaja bahkan orang tua sekalipun. Pesan
yang tersirat dalam novel ini memberikan banyak inspirasi bagi para pembacanya.
Tiap bait puisi di beberapa kalimatnya menambah poin plus untuk novel ini. Alur
cerita yang sangat menghanyutkan membuat para pembaca untuk selalu ikhlas dalam
menerima segala cobaan yang telah ditakdirkan dari Allah SWT.
Manfaat
yang bisa diperoleh dari novel ini adalah mengajarkan kepada kita untuk selalu mendirikan
shalat mulai sejak dini. Selain itu, mengajarkan agar kita menjadi orang yang
tulus, ikhlas, dan melakukannya semata mata karena Allah, bukan karena ingin
mendapat imbalan. Selain itu, sesuatu akan mudah kita kerjakan jika kita tulus
dan ikhlas mengerjakannya.
Novel
ini pantas dibaca oleh siapa saja yang ingin belajar mengenai keikhlasan serta
kesabaran. Tak hanya orang dewasa, buku inipun cocok untuk anak-anak dan para
remaja karena plot yang dibuat penulis merupakan plot cerita dunia kanak-kanak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar