Dinamika Pelaksanaan UUD 1945
Masa
Awal Kemerdekaan (18/8/1945 – 5/7/1959)
Setelah Indonesia menyatakan
kemerdekaannya, maka konstitusi yang digunakan adalah UUD 1945. Pada periode
ini, bentuk Negara RI adalah kesatuan dengan bentuk pemerintahan republic.
System pemerintahan yang diterapkan adalah presidensial sehingga kedudukan
presiden sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan. Namun sebagai
Negara muda yang baru memperoleh kemerdekannya UUD 1945 belum bisa dilaksanakan
secara murni dan konsekuen karena bangsa Indonesia masih focus pada upaya untuk
mempertahankan kemerdekaan tersebut. Landasan yuridis kesatuan Indonesia,
antara lain sebagai berikut.
·
Pembukaan UUD
1945 alinea 4 berbunyi: "... melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia..." Hal tersebut menunjukkan satu kesatuan
bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia.
·
Pasal 1 ayat 1
UUD 1945 berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk
Republik." Kata 'kesatuan' dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk negara,
sedangkan 'republik' menunjukkan bentuk pemerintahan.
Undang-undang dasar
1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni seperti yang
diajarkan Montesquieu dalam ajaran trias politika. UUD 1945 lebih cenderung
menganut prinsip pembagian kekuasaan. Dalam prinsip pembagian kekuasaan antara
lembaga yang satu dan yang lainnya masih dimungkinkan adanya kerja sama dalam
menjalanan tugas-tugasnya. Menurut UUD 1945, kekuasaan-kekuasaan dalam negara
dikelola oleh empat lembaga, yaitu sebagai berikut.
1.
Legislatif, yang
dijalankan oleh DPR
2.
Eksekutif, yang
dijalankan oleh presiden
3.
Eksaminatif (mengevaluasi),
kekuasaan inspektif (mengontrol), atau kekuasaan auditatif (memeriksa), yang
dijalankan oleh DPK
4.
Yudikatif, yang
dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Pembagian kekuasaan
pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1945 belum
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga
negara seperti yang dikehendaki UUD 1945. Pada kurun waktu tersebut, di
Indonesia hanya ada presiden, wakil presiden, menteri-menteri, serta Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Oleh karena itu, sejak 18 Agustus 1945 sampai
dengan 16 Oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)
dijalankan oleh suatu lembaga atau badan, yaitu presiden yang dibantu oleh
KNIP.
Pada masa ini
pemerintah telah mengeluarkan tiga maklumat yaitu sebagai berikut.
a.
Maklumat Wakil
Presiden Nomor X
Maklumat wapres ini
dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober 1945, yang menghentikan kekuasaan luar
biasa dari presiden sebelum masa waktunya berakhir (seharusnya 6 bulan).
Maklumat ini memberikan kekuasaan MPR dan DPR yang semula dipegang presiden
kepada KNIP. Terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan
legislatif dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap
dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945.
b.
Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945
Maklumat ini memuat
tentang pembentukan partai politik yang sebanyak-banyaknya. Ini merupakan
akibat dari pemahaman bahwa salah satu ciri demokrasi adalah multipartai.
Namun, maklumat ini juga merupakan upaya agar dunia barat menilai Indonesia
sebagai Negara penganut demokrasi.
c.
Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945
Isi maklumat ini
intinya mengubah system pemerintahan presidensial menjadi parlementer. Maklumat
ini menyalahi ketentuan UUD RI 1945 yang menetapkan system pemerintahan
presidensial sebagai sitem pemerintahan Indonesia. Kekuasaan eksekutif yang
semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri sebagai
konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer. Dengan demikian,
pada periode ini pelaksanaan demokrasi masih ditekankan pada proses pembagian
peran dalam kekuasaan dengan adanya pembagian kekuasaan mutlak atau penuh atas
Indonesia sehingga kedaulatan rakyat dapat terlaksana.
Ketiga maklumat
tersebut memberi perubahan besar terhadap ketatanegaraan Indonesia. Terutama
maklumat pemerintah 14 November 1945 karena mulai saat itu, Indonesia
menerapkan system pemerintah parlementer. Sehingga presiden hanya berkedudukan
sebagai kepala Negara. Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan dipegang oleh
perdana menteri. Para menteri tidak bertanggungjawab kepada presiden melainkan
kepada KNIP.
Pada masa ini terjadi
beberapa kali pergantian cabinet. Cabinet-kabinet yang terbentuk mudah
dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Cabinet pertama dipimpin oleh Sutan
Syahrir, dilanjutkan cabinet Syahrir II dan III. Setelah cabinet Syahrir II dan
III bubar, pemerintah membentuk cabinet presidensial kembali (27 Juni 1947 – 3
Juli 1947). Namun, beberapa partai politik mendesak Presiden Soekarno kembali
membentuk cabinet parlementer yaitu sebagai berikut.
a.
Kabinet Amir
Syarifudin I (3 Juli 1947 – 11 November 1947)
b.
Kabinet Amir
Syarifudin II (11 November 1947 – 29 Januari 1948)
c.
Kabinet Hatta I
(29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949)
d.
Kabinet Darurat,
Mr. Syafruddin Prawiranegara (19 Desember 1948 – 13 Juli 1949)
e.
Kabinet Hatta II
(4 Agustus 1949 – 20 Desember 1949)
Namun, kondisi
pemerintahan tidak berjalan stabil karena seringnya cabinet mengalami
pergantian serta ancaman Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Periode
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949
Berdasarkan konstitusi
tersebut, bentuk Negara kita adalah serikat atau federasi. Ciri yang paling
menonjol adalah kedaulatan pemerintah pusat diperoleh setelah Negara-negara
bagian menyerahkan sebagian kedaulatannya (kedaulatan ke luar dan sebagian
kedaulatan ke dalam). Menurut ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam
Konstitusi RIS, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan
parlementer. Pada sistem ini, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan apabila pertanggungjawaban tidak diterima oleh DPR, maka
kabinet dibubuarkan. Dengan kata lain, kedudukan kabinet bergantung pada
parlemen.
Negara RIS terdiri dari
daerah Negara dan satuan kenegaraan yang tegak sendiri.
a.
Daerah Negara
adalah Negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Selatan, dan
Negara Sumatra Timur.
b.
Satuan kenegaraan
yang tegak sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan
Barat, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Pada masa konstitusi
RIS ini, system pemerintahan yang dianut adalah system pemerintahan parlementer
tidak mutlak atau disebut quasi parlementer.
Adapun pokok-pokok
system pemerintahan masa konstitusi RIS adalah sebagai berikut.
a.
Presiden dengan
kuasa dari perwakilan Negara bagian menunjuk tiga pembentuk cabinet (pasal 74
ayat 1)
b.
Presiden
mengangkat salah seorang dari pembentuk cabinet tersebut sebagai perdana
menteri (pasal 74 ayat 3)
c.
Presiden juga
membentuk cabinet atau dewan menteri sesuai anjuran pembentuk cabinet (pasal 74
ayat 3)
d.
Menteri-menteri
(dewan menteri) dalam bersidang dipimpin oleh perdana menteri (pasal 76 ayat 1).
Perdana menteri juga melakukan tugas keseharian presiden jika presiden
berhalangan.
e.
Presiden bersama
menteri merupakan pemerintah. Presiden adalah kepala pemerintahan (pasal 68
ayat 1)
Parlementer RIS terdiri
dari dua badan yaitu senat dan DPR. Senat beranggotakan wakil dari negara
bagian yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. negara RIS bukanlah cita-cita dan
tujuan bangsa Indonesia karena itu muncul berbagai reaksi untuk menuntut
kembali ke negara kesatuan.
Pada tanggal 8 Maret
1950, dikeluarkan Undang Undang Darurat Nomor 11 tahun 1950 yang isinya
mengatur tentang tata cara perubahan susunan kenegaraan negara RIS. Maka dengan
dikeluarkan undang-undang ini, hampir semua negara RIS menggabungkan diri
dengan negara Republik Indonesia yang berpusat di Jogjakarta. Sehingga akhirnya
negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian yaitu negara Republik Indonesia,
negara Indonesia Timur, dan negara Sumatra Timur.
Kemudian pada tanggal
19 Mei 1950 dicapai sebuah kesepakatan untuk kembali ke negaraa kesatuan dengan
menggunakan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan dua konstitusi
yang berlaku yaitu konstitusi RIS dan juga UUD 1945 yang menghasilkan UUDS 1950.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, ditetapkan UUDS yang merupakan perubahan dari
konstitusi RIS. Mengenai perubahan konstitusi RIS menjadi UUDS tertuang dalam
UU No 7 tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RI menjadi UUDS RI.
UUD ini lebih dikenal dengan UUDS 1950. Dengan demikian, Indonesia pun
menjalankan pemerintahan yang baru.
Sistem pemerintahan
parlementer memiliki ciri-ciri pokok, yaitu :
·
Perdana menteri
bersama para menteri, baik secara bersama maupun sendiri-sendiri bertanggung
jawab kepada parlemen
·
Pembentukan
kabinet didasarkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen
·
Para anggota
kabinet seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen
·
Kabinet dapat
dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran
perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya
pemilihan umum
·
Masa jabatan
kabinet tidak dapat ditentukan dengan pasti
·
Kedudukan kepala
negara tidak dapat diganggu-gugat atau diminta pertanggungjawanan atas jalannya
pemerintahan.
Sejarah sistem
pemerintahan parlementer di Indonesia, telah dimulai sejak periode berlakunya
UUDS 1045 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan maklumat pemerintah pada 14
November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergerser dari tangan presiden
kepada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Setiap undang-undang yang
dikeluarkan harus terdapat tanda tangan menteri (contra seign menteri) sehingga presiden tidak dapat diganggu-gugat.
Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang
adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan konstitusi RIS 1949, dapat disimpulkan bahwa konstitusi ini
dipengaruhi oleh Monstiquieu. Namun, tidak menganut teori tersebut secara
murni. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya terbagi dalam tiga
kekuasaan/lembaga, tetapi terbagi dalam enam lembaga negara. Keenam lembaga
negarar (alat-alat perlengkapan federal RIS), yaitu:
1.
Presiden
2.
Menteri
3.
Senat
4.
dewan perwakilan
rakyat
5.
mahkamah agung
Indonesia
6.
dewan pengawas
keuangan.
Dikarenakan dengan
bentuk negara federasi, maka pelaksanaan demokrasi tiap negara bagian tidak
sama. Apabila pada masa itu kesenjangan antar pulau Jawa dengan pulau-pulau
lain di Indonesia masih jauh. Dengan kata lain, pelaksanaan demokrasi masih
mengandalkan partisipasi politik di tiap negara bagian yang berbeda-beda.
Demokrasi yang
digunakan dalam hukum dasarnya sama dengan realitanya yakni demokrasi liberal
dan parlementer.
Periode
UUDS 1950 (17 Agustus 1950 s.d. 5 Juli 1959)
Meskipun ditetapkan
tanggal 15 Agustus 1960, UUDS 1950 ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1950.
System pemerintahan di Indonesia pun mengalami perubahan. System pemerintahan
yang dijalankan adalah system parlementer, dengan bentuk negara kembali ke
kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam
pasal 1 ayat 1 UUDS 1950 yang berbunyi, "Republik Indonesia yang merdeka
dan berdaulat adalah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk
kesatuan." Bentuk negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia.
Selain itu, pada bagian Mukadimah UUDS 1950 disebutkan "Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik
kesatuan...". Kabinet dipimpin oleh perdana menteri yang bertanggungjawab
kepada parlemen.
Pokok-pokok system
pemerintahan masa UUDS 1950 adalah sebagai berikut.
a.
Presiden
berkedudukan sebagai kepala negaraa yang dibantu oleh seorang wakil presiden
(pasal 45 ayat 1 dan 2).
b.
Presiden dan
wakil presiden tidak dapat diganggu gugat (pasal 83 ayat 1).
c.
Presiden
menunjuk seorang atau beberapa orang sebagai pembentuk kabinett (pasal 51 ayat
1 dan 2)
d.
Perdana menteri
memimpin kabinett (dewan menteri).
e.
Presiden berhak
membubarkan DPR (pasal 84 ayat 1).
Penyelenggaraan
pemerintahan pada periode ini mengalami pergantian kabinett beberapa kali yaitu
sebagai berikut.
Ø Kabinet Natsir
(6 September 1950 s.d. 27 April 1951). Kabinet ini merupakan kabinet pertama
yang memerintah pada masa Demokrasi Liberal.
Ø Kabinet Soekiman-Soewiryo (27 April 1951 s.d. 3 April 1952). Kabinet ini
dipimpin oleh Soekiman-Soewiryo dan merupakan kabinet koalisi Masyumi dan PNI.
Ø Kabinet Wilopo
(3 April 1952 s.d. 30 Juli 1953). Kabinet ini merintis sistem Zaken Kabinet.
Artinya, bahwa kabinet yang dibentuk terdiri atas para ahli dalam bidangnya
masing-masing.
Ø Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953 s.d. 12 Agustus 1955). Kabinet ini
merupakan kabinet terakhir sebelum pemilihan umum. Kabinet ini didukung oleh
PNI-NU.
Ø Kabinet Burhanuddin Harahap dari masyumi (12 Agustus 1955 s.d. 24 Maret 1956).
Pada masa ini diselenggarakan pemilu dengan diikuti 28 partai politik. Pemilu
tahap pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota parlemen dan
tahap kedua pada tanggal 15 Desember untuk memilih anggota konstituante.
Ø Kabinet Ali Sostroamidjojo II (24 Maret 1956 s.d. 9 April 1957). Kabinet ini
berkoalisi dengan PNI, Masyumi, dan NU.
Ø Kabinet Djuanda (9 April 1957 s.d. 10 Juli 1959). Kabinet ini
merupakan Zaken Kabinet.
Pada waktu itu terdapat
dewan konstituante yang bertugas membuat UUD baru untuk mengganti UUDS 1950.
Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 134 UUDS 1950 yang menyatakan bahwa dewan
konstituante bersama-sama dengan pemerintah secepat-cepatnya menetapkan UUD Republik
Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini.
Dewan konstituante
mulai bersidang pada tahun 1955. Namun dalam waktu dua tahun, dewan
konstituante belum bisa menghasilkan undang-undang dasar yang baru. Melalui
Perdana Menteri Djuanda, pemerintah mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945
sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Namun, dalam menanggapai usul
ini, dewan konstituante mengalami perbedaan pendapat. Kelompok pertama menerima
kembali UUD 1945 secara utuh sebagaimana yang ditetapkan tanggal 18 Agustus
1945, sedangkan kelompok kedua menerima UUD 1945 dengan amandemen, yaitu
memasukkan sila kesatu Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta 22
Juni 1945. Kemudian untuk mengetahui diterima atau tidaknya usul untuk kembali
ke UUD 1945 maka diselenggarakan pemungutan suara yang dilaksanakan secara
berturut-turut pada hari Sabtu 30 Mei 1959, Senin 1 Juni 1959, dan Selasa 2
Juni 1959.
Namun, pemungutan suara
tersebut tidak berhasil mendapat dukungan suara yang diperlukan (minimal 2/3
jumlah anggota). Walaupun sebenarnya jumlah suara yang masuk lebih banyak
menyetujui untuk kembali pada UUD 1945. Dewan konstituante pun dianggap tidak
mampu menjalankan tugasnya.
Untuk menghindari
krisis pemerintahan, akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan keputusan presiden yang dikenal dengan Dekret Presiden 5 Juli
1959. Isi Dekret Presiden tersebut adalah sebagai berikut.
a.
Menetapkan
pembubaran dewan konstituante.
b.
Memberlakukan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950.
c.
Pembentukan MPRS
dan DPAS dalam waktu singkat.
Masa berlakunya UUDS
1950 seperti juga masa-masa sebelumnya seringkali diisi dengan jatuh bangunnya
kabinet sehingga pemerintahan tidak stabil. Faktor yang menyebabkan fenomena
tersebut adalah hal-hal berikut ini:
·
adanya sistem
pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai
·
perjuangan
partai-partai politik hanya untuk kepentingan golongan atau partainya
·
pelaksanaan
sistem demokrasi yang tidak sehat;
Sesuai dengan sistem
parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif)
dilakukan sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah
dipertanggungjawabkan oleh dewan menteri kepada DPR. Kekuasaan
perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah bersama DPR, kecuali
dalam perubahan undang-undang dasar. DPR memiliki hak untuk mengajukan
rancangan undang-undang. Selama masa berlakunya UUDS 1950, hak tersebut pernah
digunakan oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian, pemerintah (presiden
dan menter) dan DPR harus bekerja sama di bidang legislatif karena setiap
undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah.
Bidang yudikatif
sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2
UUDS 1950 Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang bertugas
melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain
berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di samping itu,
Mahkamah Agung dapat memberi nasihat kepada presiden berkenaan dengan pemberian
grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Kedaulatan rakyat
disalurkan melalui sistem multipartai. Oleh sebab itu, stabilitas negara sukar
dicapai karena parlemen dapat menjatuhkan kabnet jika partai oposisi dalam
parlemen kuat. Akibatnya, kabinet tidak berumur panjang dan banyak program
terbengkalai sehingga menimbulkan banyak masalah di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
Demokrasi yang
digunakan dalam hukum dasarnya sama dengan realitanya yakni demokrasi liberal
dan demokrasi parlementer.
Masa
Orde Lama (5/7/1959 – 11/3/1966)
Periode
Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 s.d. 1966)
Pada masa ini Indonesia
memasuki periode demokrasi terpimpin. System pemerintahan yang diterapkan
adalah presidensial. Presiden Soekarno menjabat kepala negaraa sekaligus kepala
pemerintahan.
Kabinett yang dibentuk
pada tanggal 9 Juli 1959 dinamakan Kabinett Kerja yang terdiri dari:
a.
Kabinet inti, yang
terdiri dari seorang perdana menteri yang dijabat oleh presiden dan 10 orang
menteri.
b.
Menteri-menteri ex officio ,yaitu pejabat-pejabat Negara
yang karena jabatannya diangkat menjadi menteri. Pejabat tersebut adalah Kepala
Staf Angkatan Darat, Laut, Udara, Kepolisian Negara, Jaksa Agung, Ketua Dewan
Perancang Nasional, dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung.
c.
Menteri-menteri
muda sebanyak 60 orang.
Dekrit Presiden pada 5
Juli 1959 disambut baik oleh rakyat yang didukung oleh TNI AD. Serta dibenarkan
oleh Mahkamah Agung dan DPR yang bersedia bekerja terus dalam rangka menegakkan
UUD 1945. Menurut UUD 1945, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
Pada periode ini,
pemerintah Indonesia menganut sistem Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin
tersebut sesuai dengan sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan. Namun, presiden
menafsirkan terpimpin dalam arti "pimpinan terletak
di tangan pemimpin besar revolusi". Selain itu, terdapat beberapa
penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Demokrasi Terpimpin, antara lain
sebagai berikut:
-
Pidato presiden yang berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” ditetapkan sebagai GBHN tetap. Hal ini bertentangan
dengan ketentuan UUD 1945.
-
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin cenderung
mengarah pada sentralisasi kekuasaan pada diri presiden dengan wewenang yang
melebihi ketentuan UUD 1945 yaitu mengeluarkan produk hokum setingkat
undang-undang tanpa persetujuan DPR dalam bentuk penetapan presiden (penpres),
misalnya pembentukan MPRS dengan Penpres No. 2/1959, DPAS dengan Penpres No.
3/1959.
-
Keluarnya Ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup dan
banyaknya jabatan yang rangkap.
-
Presiden membubarkan DPR hasil pemilu
1955 pada tahun 1960 karena RAPBN yang diajukan pemerintah tidak disetujui DPR,
kemudian tanpa melalui pemilu lebih dahulu, dibentuklah DPR-GR.
-
Pimpinan lembaga tertinggi (MPRS) dan
lembaga tinggi Negara (DPR) dijadikan menteri Negara yang artinya sebagai pembantu
presiden.
-
Menafsirkan Pancasila terpisah-pisah,
tidak dalam kesatuan bulat dan utuh.
-
Konsep Pancasila bergeser menjadi konsep
Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).
-
Pelaksanaan politik luar negeri bebas
aktif yang cenderung memihak komunis.
-
Manipol USDEK (Manifesto Politik, UUD,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian
Indonesia) dijadikan GBHN tahun 1960. USDEK dibuat oleh presiden, sedangkan
GBHN harus dibuat oleh MPR.
Pada masa ini terjadi pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dikenal dengan Gerakan 30 September
(G-30-S/PKI) yang menyebabkan kekacauan. Rakyat pun menyerukan tuntutan kepada
pemerintah untuk membubarkan PKI yang lebih dikenal dengan tritura (tiga tuntutan rakyat).
Adapun isi tritura adalah sebagai
berikut.
a. Bubarkan
PKI.
b. Bersihkan
kabinett dari unsur-unsur PKI.
c. Turunkan
harga.
Untuk mengatasi keadaan tersebut,
Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Jenderal Soeharto pada
tanggal 11 Maret 1966 yang lebih dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah
Sebelas Maret).
Demokrasi yang digunakan dalam hukum
dasarnya merupakan demokrasi pancasila, demokrasi presidentil, dan demokrasi
tidak langsung. Tapi pada realitanya digunakan demokrasi terpimpin.
Masa
Orde Baru (11/3/1966 – 21/5/1998)
Sebagai pemegang
Supersemar, Soeharto memegang kepemimpinan sejak 1966, namun beliau secara
resmi menjalankan pemerintahan sejak diangkat menjadi presiden oleh MPRS tahun
1968. Masa pemerintahan Soeharto ini disebut masa Orde Baru, sedangkan pemerintahan
sebelumnya disebut masa Orde Lama.
Pemerintah orde baru
memprioritaskan pada pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional yang mantap. Untuk
mewujudkan pembangunan nasional, maka stabilitas ekonomi harus terjaga,
sedangkan untuk mewujudkan stabilitas ekonomi, stabilitas keamanan harus
dijaga. Jadi, ketiga hal tersebut terkait satu sama lain.
Orde Baru berhasil
menjalankan pemerintahan melalui mekanisme kenegaraan yang lebih dikenal dengan
Mekanisme Kepemimpinan Nasional Lima Tahun yaitu sebagai berikut.
a.
Dilaksanakan
pemilu untuk mengisi keanggotaan MPR, memilih anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II.
b.
MPR terdiri dari
anggota DPR dan utusan daerah serta golongan yang ditetapkan presiden. MPR bersidang
untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta menetapkan GBHN untuk 5 tahun.
c.
Presiden
membentuk kabinett (menteri-menteri). Kabinett bertanggungjawab kepada
presiden.
d.
Presiden adalah
mandataris MPR. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Presiden menyampaikan
laporan pertanggungjawaban tiap akhir kepemimpinan kepada MPR.
e.
DPR mengawasi
jalannya pemerintahan. Bersama dengan presdien, DPR membentuk undang-undang.
Sistem pemerintahan
Demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung dalam batang tubuh
UUD 1945 berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, yaitu sebagai
berikut:
1.
Negara Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hokum
2.
sistem
konstitusional
3.
kekuasaan negara
yang tertinggi di tangan MPR
4.
presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi di bawah Majelis
5.
presiden tidak bertanggung
jawab pada DPR
6.
menteri negara
ialah yang membantu presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR
7.
kekuasaan kepala
negara tidak tak terbatas.
Masa kepemimpinan Orde
Baru merupakan masa kepemimpinan nasional yang bertekad melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen serta bertujuan menegakkan keadilan dan
kebenaran dalam negara Republik Indonesia. Supersemar dan pelaksanaannya
ternyata memperoleh dukungan rakyat dan aparatur negara sehingga merupakan
titik tolak terwujudnya tata kehidupan baru dalam struktur ketatanegaraan yang
berdasarkan kemurnian Pancasila dan UUD 1945.
Namun di saat
kepemimpinan orde baru bertekad melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, terjadi ketidakpuasan masyarakat akibat kepemimpinan yang
bersifat sentralistik dan tidak memperhatikan kepentingan, kemakmuran, dan
kesejahteraan penduduknya.
Meskipun pemerintahan
dijalankan sesuai UUD 1945, masih terjadi banyak penyimpangan. Misalnya proses
penyelenggaraan pemerintahan yang serba tertutup tanpa adanya akses rakyat
untuk mengetahuinya, hingga tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
justru dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Berikut ini berbagai
penyebab penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan orde baru:
·
Bidang ekonomi
Pelaksanaan
perekonomian, cenderung monopolistik. Artinya, kelompok tertentu yang dekat
dengan elit kekuasaan mendapat prioritas khusus yang mengakibatkan kesenjangan
sosial.
·
Bidang politik
Mekanisme
hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralistik kekuasaan. Keadaan
ini menghambat pemerataan hasil pembangunan dan pelaksaan otonomi daerah yang
luas dan bertanggung jawab.
·
Bidang hokum
Hukum
tidak berlaku di kalangan atas.
Adanya berbagai
penyimpangan tersebut menimbulkan protes keras dari berbagai kalangan
masyarakat. Berbagai demonstrasi sering dilakukan yang pada puncakya pada
tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Jabatan
presiden pun diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, kemudian
dibentuklah cabinet baru yang dinamakan Kabinett Reformasi Pembangunan. Dapat
dikatakan bahwa tahun 1998 adalah tonggak pemerintahan reformasi.
Demokrsai yang
digunakan dalam hukum dasarnya adalah demokrasi pancasila, demokrasi
presidentil, dan demokrasi tidak langsung. Sementara pada realitanya digunakan
demokrasi pancasila saja.
Masa
Reformasi (12/5/1998 – sekarang)
Orde Baru memegang
pemerintahan selama 32 tahun. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri maka
digantikan dengan era Reformasi di mana reformasi dijadikan gerbang perubahan
untuk menuju kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik. Pada era ini, rakyat
mempunyai berbagai macam tuntutan di antaranya sebagai berikut.
a.
Amandemen UUD RI
1945.
b.
Penghapusan
doktrin dwifungsi ABRI.
c.
Penegakan
supremasi hokum, penghormatan HAM, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
d.
Desentralisasi
dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah.
e.
Mewujudkan
kebebasan pers.
f.
Mewujudkan
kehidupan demokrasi.
Untuk memenuhi tuntutan
rakyat dilaksanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-13 November 1998. Dan
seperti yang diamanatkan dalam siding tersebut, dihasilkan produk-produk hokum
sebagai berikut.
a.
UU No. 2 tahun
1999 tentang Partai Politik.
b.
UU No. 3 tahun 1999
tentang Pemilu.
c.
UU No. 4 tahun
1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
d.
UU No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
e.
UU No. 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
f.
UU No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.
Selain itu, dilaksanaan
pemilu 7 Juni 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik, dimenangkan oleh PDI-P,
Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB. Dalam sidang umum MPR RI bulan Oktober 1999,
terpilih ketua MPR RI periode 1999-2004 yaitu Ir. Akbar Tanjung. Pemilihan
tersebut dilakukan secara voting. Kemudian pada tanggal 1-4 Oktober dan 14-21
Oktober 1999 diselenggarakan Sidang Umum MPR yang menghasilkan pemerintahan
baru yaitu Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri
sebagai wakil presiden.
Pada 20 Oktober 1999,
diadakan penyelenggaraan pemilihan presiden RI yang calonnya adalah K.H.
Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pemilihan dilakukan dengan cara
voting dan hasilnya, K.H. Abdurrahman Wahid memperoleh 373 suara, Megawati
Soekarnoputri memperoleh 313 suara. Dengan demikian, presiden yang terpilih
adalah K.H.Abdurrahman Wahid, yang dilantik pada 20 Oktober 1999.
Pada 21 Oktober 1999,
diselenggarakan pemilihan wakil presiden RI. Calonnya adalah Megawati
Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan juga dilakukan dengan voting. Hasilnya,
Megawati Soekarnoputri memperoleh 396 suara, sementara Hamzah Haz memperoleh
282 suara. Dengan demikian, wakil presiden RI periode 1999-2004 ialah Megawati
Soekarnoputri yang dilantik tanggal 21 Oktober 1999. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, kedudukan Abdurrahman Wahid beralih kepada Megawati Soekarnoputi
dengan wakilnya Hamzah Haz karena adanya ketidakpuasan rakyat selama pemerintahan
yang dipimpin olehnya.
Pada masa pemerintahan
ini, kabinett yang terbentuk diberi nama Kabinett Persatuan Nasional. Selama
menjalankan roda pemerintahan, pemerintah pun sering mendapat kritik dari
masyarakat, bahkan dari para elite politik sekalipun, berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 2001, MPR
mengadakan Sidang Istimewa. Hasil dari siding tersebut adalah mandate Presiden
Abdurrahman Wahid dicabut, dan melalui Tap. MPR No. III/MPR/2001, Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden RI kelima. Pemilihan untuk
wakil presiden pun dilakukan dan terpilihlah Hamzah Haz.
Pada masa ini
dibentuklah kabinett yang dinamakan cabinet Gotong Royong. Seperti halnya masa
pemerintahan sebelum-sebelumnya, pada masa pemerintahan kali ini pun tak jarang
menuai kritik dan protes dari berbagai kalangan. Namun, pemerintahan telah
berhasil menyelenggarakan pemilu demokratis pada tahun 2004. Pemilu ini memilih
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilu diikuti oleh 24
partai politik. Pemilu dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pada 5 April 2004
dilaksanakan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan
DPD. Kedua, pada 5 Juli 2004 dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden
tahap pertama. Ketiga, pada 20 September 2004 pemilihan presiden dan wakil
presiden tahap kedua. Hasil pemilihan tersebut menempatkan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik
Indonesia periode 2004-2009. Kemudian dilakukan pemilu tahun 2009 dengan sistem
yang sama, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang
akhirnya terpilih pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono sebagai
presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014.
Di masa reformasi ini,
kebebasan masyarakat dalam menggunakan haknya lebih terbuka dan meluas.
Pengawasan terhadap pemerintah semakin dalam dilakukan oleh masyarakat.
Demokrasi ini tidak hanya menjadi identitas tetapi diupayakan untuk
diaplikasikan secara total, masyarakat lebih kritis dan terbuka.
Demokrasi yang
digunakan berdasarkan hukum dasar sama dengan realitanya yakni dibagi menjadi
dua:
·
Sebelum
diamandemen : demokrasi pancasila, demokrasi presidentil, dan demokrasi tidak
langsung.
·
Setelah diamandemen
: demokrasi pancasila, demokrasi presidentil, dan demokrasi langsung.
Sumber :
Brenda. 2012. 365 Days of Hope Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia.htm
.12/12/2014 9:28
Rahmawati, Noviana. 2012. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMA.
Klaten : Viva Pakarindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar